Bonek ke Belanda

July 7, 2020

Ini adalah profile saya di Buku Refleksi IA ITB Belanda dalam rangka memperingati 100 tahun ITB


Artikelku di Journal of Controlled Release

September 21, 2018

Dulu kepengennya cuma simple, kuliah di luar negeri (LN), supaya bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda, mengingat kuliah S1 dan S2 sudah di 2 kampus terbaik di tanah air. Di LN pengennya ke Eropa, supaya dapat merasakan alam, budaya, kehidupan, dan peradaban di beberapa negara Eropa yang perbatasannya hanya dipisahkan daratan. Pun mengingat katanya peradaban dunia ini dipelopori oleh kebanyakan orang-orang Eropa. Dan takdir membawa saya melanjutkan kuliah S3 di Belanda, negeri kecil nan produktif yang pernah menduduki negara kami tercinta selama sekitar 350 tahun.

Kuliah S3 di Belanda agak berbeda dengan kuliah S3 di Indonesia (pengamatan saya terhadap kolega yang kuliah S3 berbarengan dengan kuliah S2 saya dulu), terutama dalam hal riset. S3 di Belanda benar-benar full riset sepanjang masa studi kita. Merasakan betapa keras dan beratnya kuliah S3 di Belanda, saya pun punya target cukup sederhana, bagaimana caranya yang penting bisa lulus tepat waktu dari sini toh setelah lulus saya sudah punya pekerjaan di Unsoed Purwokerto. Namun ternyata, “yang penting lulus” di sini tidak semudah pengucapannya, karena hampir semua supervisor/profesor di Belanda memiliki standar kelulusan S3 relatif tinggi. Kebanyakan dari mereka mensyaratkan publikasi di jurnal (yang pasti bereputasi dunia) selama studi S3. Sesuatu yang belum pernah saya bayangkan ketika saya masih di tanah air.

Waktu terus berjalan, masa studi pun semakin memendek, target publikasi pun semakin mendekat di depan. Datanglah pengumuman pendaftaran European Symposium on Controlled Drug Delivery (ESCDD 2018) yang diselenggarakan 10-13 April 2018. Supervisor menginstruksikan supaya menyiapkan 2 abstrak untuk disubmit. Pada simposium tersebut, supervisor menjadi salah satu invited speaker, sebagai kompensasi supervisor diberi kesempatan untuk mengirimkan artikel pada Journal of Controlled Release edisi khusus. Pasca ESCDD Supervisor meminta untuk segera merampungkan data riset salah satu dari abstrak yang sudah disubmit untk segera ditulis dan disubmit ke jurnal yang telah memberikan invitasinya.

Berjibaku lah saya sepanjang hari hingga batas waktu yg ditetapkan oleh editor edisi khusus Journal of Controlled Release, mengingat ini peluang yang sangat sayang jika sampai dilewatkan. Email-emailan dengan supervisor tak mengenal waktu dan hari (pagi, siang, sore, dan malam), anak-anak di rumah hampir selalu bertanya kenapa bapaknya bekerja terus-terusan di rumah dan di kampus. Alhamdulillah istri sangat mengerti posisi saya saat ini.

Dalam proses penyelesaian penelitian, pengolahan dan perangkuman data, hingga penulisan artikel untuk disubmit ke Journal of Controlled Release ini saya benar-benar merasakan suasana hati, fisik, dan pikiran yang belum pernah saya rasakan ketika di Indonesia. Yang namanya babak belur, merah lebam, kepala panas saya rasakan semua dalam menjalani proses penyiapan naskah artikel ini. Ibarat liga sepakbola, sangat berbeda jauh kelas dan atmosfer liga Indonesia dan liga Eropa (dunia).

Diiringi tak henti-hentinya doa kepada Allah SWT, alhamdulillah akhirnya artikel kami diterima dan dipublikasikan di Journal of Controlled Release, salah satu jurnal bereputasi dan bergengsi di bidang farmasi/farmasetika di dunia. Journal of Controlled Release memiliki impact factor 7,87 saat ini.

Berikut link untuk mengunduh artikel tersebut.. free, open access https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0168365918305248?via%3Dihub

 


Dosen dan Tugas Belajar di LN

December 22, 2017

Pada jaman now, dosen dituntut untuk berpendidikan doktoral (S3) di Indonesia. Ini perlu saya sebutkan karena di negara maju aturan ini sudah lama diberlakukan. Idealnya memang seorang dosen harus berpendidikan doctor mengingat tugasnya yang cukup berat, mencerdaskan kehidupan bangsa di level pendidikan tinggi.

Namun untuk dapat langsung sekolah hingga ke jenjang doctoral (S3) dengan biaya sendiri sangatlah berat buat ukuran ekonomi saya. Bahkan lanjut ke S2 pun masih berat, dan ini yang menjadi salah satu motivasi saya beralih profesi dari industriawan (kerja di industry farmasi) menjadi akademisi. Dengan menjadi dosen, saya dapat meneruskan studi S2 dan S3 menggunakan dana beasiswa.

Alhamdulillah pendidikan S2 dapat saya selesaikan tepat waktu menggunakan dana beasiswa BPPS (waktu itu namanya demikian) dan di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Dengan posisi harus bolak-balik Purwokerto-Jogja setiap pekan, tahapan ini dapat saya lewati.

Tantangan berikutnya adalah pendidikan S3, alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa LPDP untuk meneruskan studi doktoral di negeri Belanda. Negeri yang kecil secara geografis tapi kualitas pendidikan, produktifitas dan kemajuan negaranya selalu menduduki peringkat 10 besar dunia. Di sini saya merasakan tantangan yang seolah-olah seperti mimpi. Hidup di lingkungan baru, iklim dan cuaca yang sangat kontras dengan Indonesia, budaya yang berbeda dengan Indonesia, serta bahasa yang berbeda. Sesuatu yang harus ditaklukkan dan dikondisikan untuk membantu lancarnya proses studi yang sedang saya tempuh.

Pendidikan doctoral di Belanda rata-rata mensyaratkan 4 publikasi supaya dapat dinyatakan lulus. Sudah pasti, level jurnalnya adalah Q1 dan ber-impact factor tinggi. Target yang mengharuskan kami untuk terus bekerja dan belajar sepanjang masa studi ini. Bahkan, kebetulan saya mendapatkan supervisor yang sesuai slogan Pak Jokowi, “kerja, kerja, dan kerja”.

Namun demikian, banyak yang mengira bahwa orang-orang yang sedang studi lanjut di luar negeri (LN) itu enak dan indah, “hanya”dengan melihat postingan foto sedang jalan-jalan di media sosial. Saya pun demikian, banyak kolega yang bilang “enak ya, sekolah di Eropa bisa jalan-jalan”dengan enteng saya menjawab “itu pencitraan”, saya sambung lagi “jika saya posting yang susah-susah atau hal-hal yang sedih, nanti malah nggak ada yang mau studi lanjut di LN”.

Sebagai dosen yang sedang menempuh studi lanjut S3, status saya pun menjadi Tugas Belajar (Tubel). Status yang sarat makna, karena misi, beban, dan tanggung jawab dari institusi melekat dalam diri saya, termasuk membawa nama baik tanah air tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan status tersebut, selain belajar dan bekerja secara serius supaya dapat memenuhi standar kelulusan dari supervisor, saya selalu berusaha mengenalkan reputasi institusi dan NKRI. Saya memaknai tugas belajar bagi pengembangan diri saya sendiri dan pengembangan institusi dan negara. Apalah artinya jika diri ini berkembang tetapi tidak dapat memberikan kontribusi signifikan bagi institusi dan negara.

Di University of Twente saya masuk dalam grup riset Targeted Therapeutics yang orang-orangnya berisikan dari berbagai negara. Promotor utama dari Belanda, co-promotor dari India, teman seruangan semuanya dari Jerman. Selama berinteraksi dengan mereka, saya selalu berusaha mengenalkan institusi dan NKRI. Alhamdulillah, 4 November 2017 kemarin Promotor berkenan mengisi kuliah umum di kampus tercinta, Unsoed Purwokerto. Selama dan setelah pulang dari Purwokerto, beliau menangkap kesan bahwa “Indonesia bukan negara miskin, tapi kesenjangan sosialnya sangat lebar antara si kaya dan si miskin”. Beliau sangat antusias dengan NKRI, bahkan beliau tertarik untuk memperbanyak PhD student dari NKRI. Beliau juga antusias jika ke depan terjalin kolaborasi dalam hal riset dan pendidikan antara Unsoed dan University of Twente/University of Utrecht.

Kepada teman-teman seruangan yang semuanya berasal dari Jerman, saya panasi mereka supaya memasukkan Indonesia ke dalam daftar destinasi liburan mereka. Mereka pun setuju, “oke suatu saat nanti aku pasti akan ke Indonesia, tentunya akan lebih asyik jika kamu (saya) sudah tinggal di Indonesia”. Akhirnya kita pun sepakat, suatu saat nanti, kita akan hiking bareng keluarga di Puncak Semeru. Dan saat tulisan ini saya buat, salah satu master student di grup riset kami yang juga berasal dari Jerman sedang berlibur di Bali. Dia ingin membuktikan apakah benar Indonesia seindah promosinya di CNN international. Upaya-upaya promosi semacam ini perlu dilakukan supaya kolega-kolega internasional dapat mengetahui sendiri bahwa NKRI tidak seburuk yang sering diberitakan di beberapa media internasional.

Itu sekelumit cerita tentang diriku sebagai dosen yang saat ini sedang menjalani tugas belajar studi S3 di negeri Belanda. Tugas yang oleh beberapa orang dianggap seperti melakukan studi lanjut di dalam negeri, padahal kenyataannya tidak demikian. Ibarat sepak bola, antara liga-liga di dunia ini sejatinya kompetisi dan levelnya tidak sama.

 

 

 

 

 


Membayangkan Status Dosen seperti Pemain Bola

July 7, 2017

Beberapa waktu lalu, diriku kaget ketika salah seorang sahabat bilang akan pindah ke kampus negara lain, sahabat ini baik banget dan sangat kekeluargaan. Seorang sahabat yang sering ketemu di masjid, seorang sahabat yang menjadikan kami dekat karena posisi minoritas di negeri ini. Seorang sahabat yang keluarganya pun menjadi dekat dengan keluarga kami karena didekatkan oleh persamaan akidah. Seorang sahabat ini juga seorang Associate Professor di University of Twente, posisi yang satu strip lagi akan menjadi full Professor. Sahabat ini akan pindah ke salah satu universitas ternama di Arab Saudi dengan status yang sama, Associate Professor.
Sebelumnya, salah seorang Associate Professor di departemenku juga pindah ke lain departemen di universitas yang sama.
Dua penggalan kisah ini, yang kebetulan terjadi sangat dekat di sekitarku, menggambarkan bagaimana pergerakan mobilitas dosen sangat dinamis. Dinamisnya fenomena hijrah dosen dari satu universitas ke universitas yang lain merupakan sesuatu yang lazim di beberapa negara. Dosen ibarat pemain bola, yang dapat hijrah sewaktu-waktu tergantung kesepakatan pemain dan antara kedua klub (yang baru dan yang lama).
Saya membayangkan, seandainya perpindahan dosen di NKRI seperti di negara lain, seperti pemain bola di liga, mungkin akan membuat iklim perdosenan dan perguruan tinggi akan menghangat, rame, dan harapannya akan membuat kualitas universitas-universitas di Indonesia juga menjadi lebih baik. Ibarat klub bola, klub tersebut akan berlomba-lomba menghimpun pemain-pemain yang berkualitas dengan tujuan klubnya menjadi nomer satu, menjadi yang terbaik sehingga akan dilirik oleh para sponsor dan selalu dipenuhi penonton ketika klub tersebut bertanding. Ketika semakin banyak klub baik yang bertanding, pertandingan pun akan semakin menarik, kualitas liga di negara tersebut akan ikut meningkat kualitasnya, dan kualitas tim nasional negara tersebut juga baik. Dapat dilihat, betapa negara-negara Eropa mendominasi persepakbolaan dunia, salah satu faktornya adalah kualitas liga di negara-negaranya yang yahud.
Kembali ke bayanganku tentang status dosen di negaraku tercinta, ketika dosen diibaratkan pemain bola, maka dosen-dosen akan berlomba-lomba menunjukkan performa terbaiknya supaya dilirik oleh kampus-kampus terbaik di negeri ini. Universitas tinggal mencari dan menarik dosen-dosen bertalenta yang produktif menghasilkan publikasi, karya ilmiah, paten, dan lain-lain dengan harapan kampusnya semakin bereputasi secara nasional dan internasional.
Ketika dosen seperti pemain bola, kesejahteraan dosen pun linier dengan prestasinya. Semakin baik prestasinya, kompensasi finansial yang akan diterima pun juga akan semakin baik. Tatkala dosen yang berprestasi dengan kompensasi yang mumpuni semakin banyak jumlahnya, dunia perguruan tinggi di Indonesia pun akan semakin bereputasi. Mengingat faktor SDM (dosen) merupakan salah satu faktor utama kualitas suatu universitas.


Saatnya Kampus-kampus di Indonesia Berbenah

September 19, 2016

Pada periode akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1990-an, dosen-dosen ITB, UGM, dan UI banyak diperbantukan mengajar di kampus-kampus di Malaysia, yang kebetulan waktu itu Malaysia sedang membangun dunia perguruan tingginya. Mereka mendatangkan dosen-dosen dari Indonesia dan menyekolahkan putra-putri terbaiknya untuk studi lanjut (S2 dan S3, bahkan postdoctoral) di Inggris. Namun kini, kurang lebih satu dekade ke belakang ini, perguruan tinggi Malaysia sudah tidak lagi melirik perguruan tinggi Indonesia, mereka melesat meninggalkan kita. Berdasarkan data Scimago Journal and Country Rank (2015), Indonesia berada di peringkat 57 sedangkan Malaysia di berada di peringkat 35. Peringkat Malaysia ada kemungkinan akan naik lagi mengingat dosen-dosennya sangat produktif dalam menghasilkan publikasi di jurnal internasional bereputasi.

Produktivitas dosen dalam menghasilkan publikasi di jurnal internasional bereputasi ini menurut penulis tidak semata-mata karena faktor internal dari diri dosen itu sendiri. Indonesia telah memiliki banyak dosen lulusan luar negeri yang tidak kalah pandai jika dibandingkan dengan dosen-dosen Malaysia. Sebaran negara tempat dosen-dosen Indonesia menimba ilmu pun cukup merata di hampir seluruh penjuru dunia, berbeda dengan Malaysia yang cenderung banyak di negara-negara persemakmuran Inggris. Dosen-dosen Indonesia yang lulusan luar negeri pun sudah cukup familiar dengan publikasi di jurnal internasional bereputasi, mengingat hal itu menjadi syarat utama mereka dalam meraih derajat kelulusan studinya.

Jumlah dosen Indonesia lulusan luar negeri semakin banyak seiring dana beasiswa pendidikan Indonesia (BPI) yang digulirkan oleh LPDP. Dengan memiliki dosen lulusan luar negeri yang banyak seharusnya jumlah publikasi Indonesia di jurnal internasional bereputasi pun banyak, namun kenyataannya belum seperti yang diharapkan. Hal ini mengindikasikan harus ada yang diperbaiki dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Perlu dipikirkan dan dirancang sistem dan program sedemikian rupa supaya produktivitas publikasi dosen-dosen Indonesia di jurnal internasional bereputasi semakin tinggi, peringkat kampus-kampus Indonesia semakin bagus, iklim riset dan inovasi di Indonesia semakin baik sehingga nama Indonesia diperhitungkan oleh negara lain di dunia.

Strategi dan program ini seyogyanya dibuat dan dirancang secara matang dan dibuat secara berkesinambungan. Beberapa waktu lalu sempat ramai di media massa tentang wacana mendatangkan “rektor asing” ke Indonesia sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan reputasi dan memperbaiki kinerja kampus di Indonesia. Hal ini menurut penulis agak ironi jika melihat banyaknya jumlah dosen Indonesia lulusan luar negeri dan banyaknya putra-putri terbaik bangsa yang “terpaksa” mengabdikan dirinya di kampus negara lain.

Indonesia memiliki banyak putra-putri terbaik bangsa yang brilian dan kepakarannya mendunia, sudah selayaknya orang-orang ini diberdayakan dan diberi kesempatan mengabdikan dan mendarma baktikan kemampuannya untuk kemajuan bangsa ini tercinta. Seperti halnya Malaysia yang saat ini menggunakan sumber daya lokal mereka untuk mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan tingginya.

Yang perlu dipertimbangkan juga adalah bagaimana caranya supaya kampus-kampus di Indonesia dapat memperbaiki diri dan mengembangkan kampusnya hingga benar-benar layak disebut bertaraf internasional. Penulis sepakat dengan kebijakan LPDP yang memperbesar kuota BPI menjadi 60% untuk  studi lanjut di kampus dalam negeri, dengan harapan kampus-kampus di dalam negeri dapat berbenah. Pembenahan kampus ini dapat dilakukan antara lain dengan peningkatan fasilitas laboratorium penelitian di kampus, peningkatan akses ke jurnal internasional, peningkatan dana riset terutama untuk kolaborasi riset internasional, peningkatan dana perkuliahan sehingga memungkinkan kampus di Indonesia bertukar pengalaman belajar dan mengajar dengan kampus lain di luar negeri, dan lain-lain.

Menurut penulis pengalihan dana beasiswa luar negeri ke pembenahan kampus di dalam negeri sangat perlu dilakukan supaya secara lembaga, dunia kampus kita ikut membesar dan menjadi lebih baik. Dengan model beasiswa studi lanjut ke luar negeri, Indonesia relatif inferior terhadap negara tempat studi lanjut dan biayanya juga relatif besar. Agak sedikit berbeda ketika dana tersebut sedikit dialihkan untuk peningkatan riset kolaborasi internasional, dosen kita dapat melakukan penelitiannya selama sekian bulan di kampus di luar negeri yang sifatnya relatif sejajar sehingga nama kampus dan nama negara Indonesia tidak terlalu inferior. Sesekali dosen Indonesia magang di kampus lain di luar negeri sehingga dosen Indonesia yang dapat merasakan atmosfer akademik di luar negeri semakin banyak, harapannya dapat dikembangkan di kampusnya setelah program magang selesai.

Yang paling utama dan menjadi pijakan untuk pengembangan dunia riset dan inovasi di kampus-kampus di Indonesia adalah peningkatan fasilitas penelitian. Saat ini alat-alat dan laboratorium penelitian yang ada di kampus-kampus di Indonesia relatif sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain (termasuk Malaysia), padahal untuk dapat menghasilkan penelitian-penelitian yang bagus dan bereputasi sangat tergantung terhadap alat dan laboratorium yang digunakan. Banyak dosen-dosen yang baru lulus dari luar negeri gagap ketika tiba di Indonesia melihat kondisi laboratorium penelitiannya.

Dengan berbenahnya kampus-kampus di Indonesia, kita berharap dunia perguruan tinggi Indonesia menjadi lebih baik dan disegani di tataran dunia. Ketika kampus-kampus Indonesia benar-benar bertaraf internasional, kita akan cukup percaya diri bersaing dengan kampus-kampus dari negara lain sehingga orang-orang Indonesia tidak perlu jauh-jauh berkuliah di negeri orang bahkan kita dapat mendatangkan warga negara asing untuk berlomba-lomba kuliah di Indonesia. Dosen-dosen Indonesia dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dengan program-program kursus/pelatihan singkat di luar negeri, kolaborasi riset dengan kampus lain di luar negeri, dan mengikuti program postdoctoral di luar negeri. Kalaupun ada dosen/orang Indonesia yang studi lanjut (S2 atau S3) ke luar negeri memang semata-mata karena tidak ada kampus di Indonesia yang mampu memfasilitasi terkait studi lanjutnya tersebut.